Senin, 30 Mei 2011

Saat kelulusan SMA menjadi sebuah indikator kebanggaan Orang Tua

Oke, semuanya dimulai dari hari ini. Tanggal 30 Mei 2011. Mata saya kemudian terbuka tepat pukul 07.30. berhubung kamar saya agak dekat dari ruang makan, terdengarlah sedikit perbincangan antara adik saya (Ika) dan Ibu saya.

“Tawwa Ika LULUS DI SMA 1 MAKASSAR, pintar mentong ini anakku satu”

Sekilas itu yang saya dengar. Saya terbius lagi dan kembali tidur

Mata saya terbuka lagi jam 12.45 siang. Entah kenapa lelah dan pulas sekali tidur hari itu, mungkin karena semalam naik sepeda keliling Perumahan Telkomas dan dilanjutkan ke BTP. Nothing special di meja makan. Langit lumayan mendung senin itu. Saya ke surat kabar. Di bagian pengumuman siswa lulus SMA Negeri, ada satu nomer yang dilingkari dengan pulpen hitam. Saya yakin itu nomer test nya Ika. Dia benar – benar lulus. Ternyata yang tadi ini bukan mimpi.

Ika memang pintar, dan dia terhitung anak yang rajin. Sangat wajar ketika ia masuk di SMA Negeri unggulan seperti itu. Satu hal yang paling bikin saya malas ialah.. dibanding – bandingkan.

Teman, sebelumnya saya minta maaf kalo harus curhat lewat blog. Mumpung saya tidak tahu harus cerita ini semua kemana dan ke siapa.

Kita mulai ceritanya. Sekitar 4 tahun lalu, adik saya yang Cowok (Ruly) juga berhasil diterima di salah satu SMA Ngerei unggulan, SMA 5. Yang notabene nya saya tidak bisa lulus disitu. Saat sedang senang – senang dan ikut bergembira melihat nomer test nyadi koran, Ibu saya langsung bilang “Liatko tawwa adekmu, pintar ki.. bisa lulus SMA 5”. Then i can’t continue my celebrating.

Mau dibandingkan? Iya, saya memang gagal tembus di SMA 5. SMA yang sudah saya idam – idamkan sejak SMP, dan berjanji sama sahabat – sahabatku yang dekat rumah, bahwa kita akan sama – sama lanjut disana. Tapi semua mimpi tiba – tiba hancur pas lihat nomerku tidak ada di koran hasil pengumuman. Betapa marah dan kecewa kedua orang tua saya waktu itu. Mereka seperti melihat timnas Indonesia yang gagal membawa pulang Piala Sudirman. Alhasil, saya masuk SMA swasta. Mahal, bukan unggulan, siswanya rada nakal, dan tentu saja tidak membanggakan buat mereka.

Saya yakin hal ini akan terulang kembali ketika pas pulang nanti, Ibu saya akan dengan bangga menceritakan bahwa putri semata wayangnya lulus di SMA Negeri unggulan. Telinga saya sudah siap untuk itu.

Sekarang tujuan saya cuma satu. Saya mau kasih lihat ke mereka, kalau saya juga punya sesuatu yang layak saya banggakan. Jadi striker, vokalis, graphic designer memang belum cukup membuat mereka berkata bangga. Mereka memang mau yang terbaik untuk anaknya, dan saya sebagai anak Sulung, wajib berusaha. Saya Cuma mau mereka lihat, bahwa anak sulungnya (yang satu – satunya sekloah di SMA swasta) tidak kalah pintar sama adik – adiknya. Walaupun menguras banyak uang, saya janji semuanya worth it. Semampuku, Insya Allah :)