Sebenarnya saya sudah pernah ke Bira, tahun lalu waktu
liburan sama teman-teman Percetakan Bintang. Tapi saya lebih tertarik sama
ajakannya ke Kajang, salah satu kawasan dengan adat istiadat yang kental di
pedalaman kampung Bapak saya, Kabupaten Bulukumba. Cuma dua hal yang saya tau
tentang Kajang ; Semuanya baju hitam, dan disana tidak ada listrik sama sekali.
Jam 8 pagi di hari Jumat, (4/5) Saya, Ilham, Opi, Tinus, Indah, Rahma dan Anita
berangkat. Kami sudah siap dengan baju hitam-hitam, lengkap dengan perlengkapan
mandi-mandi di Tanjung Bira.
 |
Calisto7 in Black |
Perjalanan yang saya kira Cuma 4 jam, ternyata makan waktu
sampe 10 jam. Capek memang, jalanan di Jeneponto juga rusak parah. Kita tiba
disana sekitaran jam setengah 6 magrib. Sudah lumayan gelap di sana. Saya baru
tau, Kajang secara garis besar dibagi menjadi dua bagian, yaitu Kajang luar
yang masyarakatnya sudah mulai mengenal listrik walaupun hanya sebatas
menerangi malam dengan lampu, dan Kajang dalam, yang biasa disebut Kawasan
Ammatoa (Pemangku Adat) yang memang tidak ada listrik sama sekali, dan adat
istiadatnya masih sangat kental. Perjalanan dari perbatasan sampai masuk
kawasan Ammatoa kurang lebih seperti dari depan Perdos sampe dalam rumahku,
yaah satu kilometer lah.
 |
Kenapa saya paling belakang? karena bawaanku berat bro.. |
Kami memang berencana mengunjungi Ammatoa, sekedar
bercengkrama dan melihat Ammatoa itu seperti apa. Wajar, Ammatoa itu orang
nomer satunya Kajang. Bahkan kita tidak boleh ambil fotonya dan gambar rumahnya
dari dalam. Sampai di rumah Ammtoa, kita disambut hangat sama Ambo (istrinya Ammatoa).
Ammatoa juga dengan ramah menyambut kita. Baru masuk, aura beliau sudah terasa
sekali. Wibawanya, gaya bicaranya, pantas dia jadi Ammatoa. Saya yang notabene
pelawak, sepertinya tidak punya wibawa seperti itu.
Beliau tipe orang yang tidak mau terlalu banyak bicara kalau
tidak ditanya. jadi, dia hanya menjawab apa yang kita mau tau. Ketika yang lain
sibuk bertanya dan ngangguk-ngangguk dengar penjelasan Ammatoa. Saya baru sadar
disini tidak ada WC. Tolong baca baik-baik, disini tidak ada WC. Hanya ada
tempat pipis yang terbuka. Thanks God I am a man. Tinggal nyudut rapat-rapat,
cussss... selesai perkara. Makanya Ilham sudah wanti-wanti, kalo mau pup atau
sebagainya, sebaiknya dilakukan sebelum masuk Kajang. Atau kau bakal punya
pengalaman pertama pup dan disaksikan live sama warga Kajang.
Kita tinggalkan Riri yang pipis tanpa pintu. Cerita di dalam
semakin seru. Saya ceritakan sedikit ya, baca baik-baik. Kami seakrab ini
karena Ilham pernah bikin film dokumenter untuk skripsinya, tentang Pasang Ri
Kajang. Pasang Ri Kajang kurang lebih bercerita tentang adat istiadat yang
dianut warga Kajang. Hal lain yang saya tau itu, mereka itu punya semacam
menteri di bidangnya masing-masing. Misalnya ada yang bertanggung jawab masalah
perikanan, perkebunan, juru bicara, dan lain-lain. Total ada 26 orang dengan
tanggung jawab masing-masing.
Tidak terasa ceritanya, langit sudah gelap, semua jendela
dan pintu sudah ditutup rapat, hampir tidak ada celah. Cuma ada beberapa obor
dari bahan karet yang bikin malam jadi makin seru, sambil bercerita dan belajar
sedikit-sedikit bahasa Konjo, bahasa warga kajang sehari-hari. Saya sempat
temani Ilham ke mobil untuk ambil barangnya yang ketinggalan. Kajang memang
keren di malam hari. Suara jangkrik, cahaya bulan, gemercik air sungai, tentram
sekali. Semua buyar pas ada anjing yang menggonggong dan disahut satu sama
lain, saya mulai dzikir.
Kembali ke rumah Ammatoa, si Nita, Rahma dan Indah mulai
masak. Kami disajikan bebrapa makanan pembuka khas seperti kue cucur, uhu-uhu
(semacam gula merah yang dibikin jadi jaring), dan sokko’ atau songkolo sambil
menunggu makanan jadi. Kami Cuma makan Indomie waktu itu, tapi serunya minta
ampun. Yang lebih seru lagi karena ini pertama kalinya saya makan Indomie dan
nasi tanpa sendok. Sangat krik. Selesai makan, jam 9 kita semua sudah tidur.
Semua obor dimatikan. Saking gelapnya, bahkan saat kita buka mata dan tutup
mata, gelapnya hampir sama.
Kami pamitan ke Ammatoa jam 7, destinasi berikutnya ke Bira.
Kita sempat singgah dulu di Kajang luar, di rumah anaknya Ammatoa. Sekalian
habis ngantar Ambo ke pasar. Agenda Kajang selesai untuk hari itu, kita ke
Bira.
Di perjalanan, kita mau singgah sarapan, dan ternyata ada
kuliner unik. Namanya Bakso Tinju. Iya, baksonya sebesar kepalan tinju. Enak.
 |
Ada yang bisa makan sekali lahap? mungkin cuma Hulk |
Lumayan jauh ternyata dari Kajang ke Bira. Hampi 2 jam
lebih. Kami tiba agak siang, tapi tidak terasa karena mendung. Tapi semuanya
terbayar sudah sama pasir putih dan beningnya air laut di sana. Jalan-jalan di
pasirnya bikin kita serasa Westlife di ‘If I Let You Go’ atau Rio Febrian yang
‘Jenuh’. Disaat yang lain main-main pasir, saya lebih prefer snmorkling.
Sayangnya saya tidak bisa jauh-jauh, padahal Ilham bilang kalau agak jauhan
kita bisa liat ikan-ikan. Tapi karena saya ini manusia darat dan diciptakan
dengan keahlian berenang dibawah rata-rata, saya takut bukan ikan yang saya
liat kalo makin jauh, malah malaikat pencabut nyawa. Agak aneh memang snorkling
di dasar pantai. Tapi ini lebih seru daripada main pasir menurutku.
Bira memang cantik, tapi saya memang tidak terlalu suka sama
pantai. Hanya 2 jam di laut, saya bersih-bersih. Kami tidak langsung pulang,
tapi singgah di Tanaberu, tempat orang membuat kapal. Sayangnya belum ada yang
order Black Pearl.
Hari sudah sore pas kita sampai di Kajang. Hari ini kita Cuma
nginap di Kajang luar, di rumah anak Ammatoa. Sudah ada lampu, tapi masih tetap
tanpa WC. Malam itu cuma dihabiskan dengan istirahat.
Besoknya jam 6 subuh kita tinggalkan Kajang. kami tidak
berhenti berterima kasih. Seru sekali. Kalau ada rejeki dan kesempatan, saya
masih mau kesana lagi. Beberapa jam kedepan, kita sudah kembali bertemu dengan
sinyal, polusi, macet, WC, dan semua hal-hal yang biasa saja dan tidak ada di
Kajang.